SELAMAT DATANG DIBLOG SAYA

mencari

Minggu, April 29

Dalam Selimut Duka

                  ini merupakan cerpen karangan teman saya sendiri. saya mempublikasikan cerpen ini sudah se ijin dari empunya lochh....... kalau pembaca ingin melihat wajah sang pengarang ini saya kasih alamat FBnya. langsung saya kita simak cerpennya.


Dalam Selimut Duka


Siang itu seperti biasanya, beraromakan panas mentari yang begitu menyengat kulit, bertaburkan debu panas yang menyesakkan dada. Tampak dari kejauhan seorang lelaki tertatih melangkahkan kakinya di pinggir jalan raya. Langkah kakinya tanpa arah dan tujuan, pandangan matanya begitu memilukan.  Menapaki jejak-jejak kehidupan yang penuh dengan perbedaan dan persaiangan. seorang lelaki bertubuh kurus dengan raut wajah kerut menahan lapar. Pak Udin, biasa oarang-orang memanggilnya. Seorang pekerja serabutan yang hanya tamatan SD. Lelaki paruh baya yang berjuang untuk mencari sedikit rejeki yang mungkin terbawa angin panas yang berhembus ditepi jalan.
“Pak Udin… Pak Udin” terdengar suara seorang ibu penjual sembako memanggilnya.
“Nggih Bu, wonten nopo?” dengan logat jawa yang halus Pak Udin menjawab panggilan Bu Idah, seorang pemilik toko sembako yang terletak di pinggir jalan itu. Bu Idah adalah orang yang tergolong kalangan ekonomi menengah ke atas, berbeda dengan Pak Udin yang dikatakan miskin saja masih susah, lebih tepatnya orang yang sangat sangat dan sangat miskin. Walaupun ia terlahir sebagai orang yang sangat miskin, namun pantangan baginya untuk melakukan hal-hal bodoh yang dilarang oleh agama. Pak Udin, si miskin yang taat pada agamanya. Tak pernah sedikitpun ia mengeluhkan keadaannya, bahkan rasa syukur yang teramat dalam karena Tuhan masih memberikan kesempatan hidup baginya, walaupun ia harus menerima kenyataan hidupnya yang teramat pedih.
“Saya mau minta tolong sama Pak Udin, bisa ga? Ucap Bu Idah yang sedang sibuk melayani pelanggan-pelanggannya. Ya, memang toko sembako milik Bu Idah adalah toko sembako satu-satunya yang ada di desanya. Wajar saja bila bu Idah agak kewalahan melayani pembeli.
“Oh.. minta tolong apa ya Bu,? Jawab Pak Udin.
“Ini Bu Umi beli gula 50 kg, tapi ia minta agar gulanya dikemas dengan plastik, masing-masing 1 kg, katanya untuk kondangan di tempat saudaranya besok pagi. Kalau Pak Udin mau, saya minta tolong itu gula yang masih di gudang nanti dibungkusin satu kiloan ya.. Pak Udin tenang aja, nanti saya kasih upahnya ko.”  
“ Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah,” dalam batinnnya, Pak Udin merasa sangat senang, meskipun ia tahu kalau upahnya tidak seberapa, namun itu adalah uang halal yang nantinya bisa untuk mengobati laparnya. Tanpa pikir-pikir lagi ia langsung menyanggupinya dan segera bergegas untuk bekerja.
“ Terima kasih ya Pak Udin “ ucap Bu Idah dengan hiasan senyum di wajahnya.
“ Iya Bu, harusnya saya yang berterima kasih sama Bu Idah” kemudian ia segera ke gudang sembako milik Bu Idah dan segera melaksanakan tugasnya.
***
Mataharipun tak diam di tempatnya, ia beranjak ke barat dengan memancarkan pesona yang menghangatkan jiwa. Rasa panas siang itu masih terasa walaupun hanya sedikit. Langit jingga di ufuk barat perlahan menghilang bersamaan dengan selesainya tugas Pak Udin mengemas gula di toko Bu Idah.
“Bu, tugas saya sudah selesai. Semuanya ada 50 bungkus” 
“Oh iya Pak Udin, terima kasih banyak sudah membantu saya” jawab Bu Idah sambil memberikan uang Rp 20.000,00 kepada Pak Udin.
“Alhamdulillah, terima kasih Bu. Oh ya, ini saya beli mie instan 2 ya Bu” sambil menyodorkan uang 20 ribuan tadi.
“Ga usah Pak, ini dibawa aja. Ga usah bayar”
Ya, memang Bu Idah adalah sosok orang yang baik kepada siapa saja, termasuk Pak Udin yang sudah membantunya.
“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak Bu, semoga kebaikan ibu di balas oleh-Nya. Kalau begitu saya pamit pulang dulu, kalau butuh tenaga saya, Insya Allah saya siap Bu”.
“Amin Yaa Rabb. Iya Pak. Jangan khawatir”
Kemudian Pak Udin melangkahkan kakinya keluar dari toko, menyusuri pinggiran jalan yang masih menaburkan aroma keganasan hidup. Pada saat itu jam dinding menunjukan pukul 17.10 WIB. Langkah kakinya yang sudah lemas, tetap ia paksakan untuk berjalan menuju rumahnya. Ditengah perjalan, ia mampir ke mushola kecil untuk menunaikan sholat. Ia juga tidak lupa menyisihkan sedikit rejekinya yang kemudian dimasukkan ke dalam kotak amal mushola sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Setelah selesai sholat, ia melanjutkan kembali melangkahkan kakinya agar segera sampai di gubuk reotnya di pinggiran desa.
***
Sayup-sayup kumandang adzan maghrib terdengar di telinga pak Udin, menyambut  kedatangannya di gubuk sederhana, berdinding anyaman bambu dan berlantaikan tanah. Kini dinginnya malam harus ia rasakan sendiri, tanpa istri yang dulu selalu menghangatkan jiwanya. Dua tahun lalu istrinya meninggal karena terkena demam berdarah, ia tak sempat dirawat di rumah sakit karena tidak ada biaya. Untuk makan saja kadang kurang, apalagi untuk biaya rumah sakit, yang katanya gratis untuk rakyat miskin namun ternyata tidak. Memang secara teori gratis, tapi ujung-ujungnya ada pungutan ini dan itu. Bukan tanpa usaha untuk mengupayakan kesembuhan istrinya, sempat ia bawa ke pengobatan alternatif, namun Tuhan berkehendak lain. Pak Udin hanya bisa pasrah menerima segala takdirnya.
Memang dulu lingkungan sekitar rumah pak udin sangat kumuh, kesadaran warganya masih sangat kecil terhadap kebersihan lingkungan. Sampah berserakan dimana-mana, bahkan sampah-sampah hasil dari rumah tangga hanya dibuang ke sungai, selokan atau empang yang ada di belakang rumah. Wajar saja jika berbagai macam penyakit, termasuk nyamuk-nyamuk yang berbahaya betah tinggal di lingkungan seperti itu.
Pak Udin tidak pernah menyalahkan siapapun atas kepergian istrinya yang tidak mungkin akan kembali lagi. Ia hanya berharap mudah-mudahan tidak ada warga lain yang senasib dengan almarhum istrinya. Sejak kepergian istrinya itulah ia begitu benci kepada nyamuk-nyamuk yang selalu berkeliaran dilingkungan rumahnya. Ia sadar bahwa tidak ada asap jika tidak ada api, sedikit-demi sedikit ia membersihkan pekarangan sekitar gubuknya. Ia juga mengajak tetangganya untuk bersama membersihkan lingkungan, agar ancaman demam berdarah tidak melanda desanya. Selama dua tahun perjuangan mengusir nyamuk-nyamuk itu tidaklah sia-sia, kini desa pak Udin bersih dan terhindar dari ancaman demam berdarah. Walaupun itu tidak dapat mengembalikan istrinya, namun ia senang atas apa yang ia lakukan.
***
Oh ya… setelah pak Udin sampai di rumah, ia bergegas mandi dan kemudian sholat di rumahnya. Karena lapar yang sudah akut, setelah selesai sholat dan berdo’a, ia memasak mie instan yang tadi sore diberi oleh bu Idah.
Malam telah menyelimuti bumi, tak peduli dengan nasib pak Udin yang tinggal sebatang kara di gubuk reotnya. Sesekali pak Udin melihat keluar dari celah anyaman bambu dindingnya. Mengamati kegelapan yang berhiaskan nyanyian burung hantu. Malam itu terasa agak panas di dalam rumah, pak Udin pun merasa kegerahan. Ia kemudian keluar menuju dipan yang terletak di emperan gubuknya. ia sandarkan tubuhnya sambil memandang langit yang sedang mendung seolah ikut meratapi nasib pak Udin. Kesepian, kesunyian dan kesendirian adalah teman-teman setia pak Udin di malam-malamnya.
 Rintik air dari langit mulai turun, menjadikan hawa panas tadi sedikit demi seditik berubah menjadi sejuk. Menambah kesunyian malam itu. Semakin lama dingin mulai dirasakan oleh tubuh kurus yang tinggal tulang itu. Ia pun segera masuk karena tubuhnya tidak sekuat dulu lagi waktu masih muda. Hanya sebuah bola lampu lima watt yang menemani perjalanan malam pak Udin. Dinginnya sudah terasa sampai sum sum tulangnya, ia segera menyelimuti tubuhnya dengan sarung yang tadi ia gunakan untuk sholat. Meskipun kemiskinan selalu menjadi sahabat karibnya, ia tidak pernah lupa siapa dirinya. Do’a- do’a selalu ia panjatkan tanpa mengenal putus asa, meskipun sampai saat ini belum ada perubahan yang lebih baik padanya. Ia yakin bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah untuknya, entah esok atau kelak di kehidupan selanjutnya.
***
Gubuk reot berdinding anyaman bambu itu menjadi saksi betapa perihnya kehidupan seorang Pak Udin. Keheningan malam itu hanya berhiaskan do’a yang selalu ia panjatkan sebelum ia mengarungi mimpi yang melupakan segala kepedihan yang tadi siang ia rasakan.
“ Yaa Allah, Yaa Tuhanku, terima kasih atas segala apa yang Engkau berikan pada hamba-Mu yang nista ini,
Yaa Allah, Yaa Tuhanku, hamba yakin Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang, hamba mohon sayangilah hamba-Mu ini yang kotor,
Yaa Allah Yaa Tuhanku, jika keadaan seperti ini, akan lebih baik untukku, hamba ikhlas menerimanya Yaa Allah….
Untaian do’a yang selalu ia panjatkan sebelum ia terlelap dalam tidurnya, hingga ia terdampar di alam mimpi.
***
Dingin malam yang  diiringi gerimis kian menambah kesunyian dan suasana horor yang membuat bulu kuduk merinding. Semua orang terlelap dalam tidur mereka masing-masing. Tak nampak seorang pun yang masih berada di luar rumah, lampu-lampu rumah mereka sudah padam. Hanyalah suara jangkrik di tengah gerimis yang setia menyanyikan alunan nada kegelapan, menemani tidur setiap orang.
Malam pun berlalu tanpa terasa, mentari pagi tersenyum menghangatkan gubuk reot yang masih sedikit basah terkena percikan air hujan semalam. Namun Pak Udin sudah terjaga sebelum sang mentari menebarkan cahayanya di hamparan muka bumi ini.
Cahaya kehangatan berhiaskan sejuk embun pagi, solah memberikan secercah harapan baru bagi Pak Udin. Ia berjalan menyusuri jalanan desa, berharap ada seseorang yang membutuhkan tenaganya. Ya, apalagi yang diandalkan untuk mencari pekerjaan bagi seseorang yang hanya tamat SD, selain tenaganya?. Benar saja, sesampainya di depan toko Bu Idah, ia dipanggil dan diminta bantuannya untuk melayani pelanggan bu Idah yang semakin hari semakin banyak. Bu Idah kini tidak hanya memintanya untuk menjadi pekerja panggilan, sekarang Pak Udin diminta untuk menjadi karyawan toko Bu Idah. Walaupun penghasilan dari tokonya belum begitu besar, tapi ia tetap memperhatikan tetangganya yang masih tersiksa oleh hidup karena kemiskinan.
Harapan baru Pak Udin terwujud sudah, meskipun hanya cukup untuk hidupnya sehari-hari. Ia merasa beruntung karena mempunyai tetangga seperti Bu Idah yang mau perduli terhadap nasibnya, tidak seperti orang-orang kaya yang hanya peduli pada perutnya sendiri tanpa ingin tau dan peduli apakah tetangganya ada yang masih kelaparan atau membutuhkan sedikit derma darinya.

            Syarif Alkhasan, 10 December 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate