ini merupakan cerpen karangan teman saya sendiri. saya mempublikasikan cerpen ini sudah se ijin dari empunya lochh....... kalau pembaca ingin melihat wajah sang pengarang ini saya kasih alamat
FBnya. langsung saya kita simak cerpennya.
Dalam Selimut Duka
Siang
itu seperti biasanya, beraromakan panas mentari yang begitu menyengat kulit,
bertaburkan debu panas yang menyesakkan dada. Tampak dari kejauhan seorang
lelaki tertatih melangkahkan kakinya di pinggir jalan raya. Langkah kakinya
tanpa arah dan tujuan, pandangan matanya begitu memilukan. Menapaki jejak-jejak kehidupan yang penuh
dengan perbedaan dan persaiangan. seorang lelaki bertubuh kurus dengan raut
wajah kerut menahan lapar. Pak Udin, biasa oarang-orang memanggilnya. Seorang pekerja serabutan yang hanya
tamatan SD. Lelaki paruh baya yang berjuang untuk mencari sedikit rejeki yang
mungkin terbawa angin panas yang berhembus ditepi jalan.
“Pak
Udin… Pak Udin” terdengar suara seorang ibu penjual sembako memanggilnya.
“Nggih
Bu, wonten nopo?” dengan logat jawa yang halus Pak Udin menjawab panggilan Bu Idah, seorang pemilik toko sembako yang terletak di
pinggir jalan itu. Bu Idah adalah orang yang tergolong kalangan ekonomi
menengah ke atas, berbeda dengan Pak Udin yang dikatakan miskin saja masih
susah, lebih tepatnya orang yang sangat sangat dan sangat miskin. Walaupun ia
terlahir sebagai orang yang sangat miskin, namun pantangan baginya untuk melakukan
hal-hal bodoh yang dilarang oleh agama. Pak Udin, si miskin yang taat pada
agamanya. Tak pernah sedikitpun ia mengeluhkan keadaannya, bahkan rasa syukur
yang teramat dalam karena Tuhan masih memberikan kesempatan hidup baginya,
walaupun ia harus
menerima kenyataan hidupnya
yang teramat pedih.
“Saya
mau minta tolong sama Pak Udin, bisa ga? Ucap Bu Idah yang sedang sibuk
melayani pelanggan-pelanggannya. Ya, memang toko sembako milik Bu Idah adalah
toko sembako satu-satunya yang ada di desanya. Wajar saja bila bu Idah agak kewalahan melayani pembeli.
“Oh..
minta tolong apa ya Bu,? Jawab Pak
Udin.
“Ini Bu
Umi beli gula 50 kg, tapi ia minta agar gulanya dikemas dengan plastik,
masing-masing 1 kg, katanya untuk kondangan di tempat saudaranya besok pagi. Kalau
Pak Udin mau, saya minta tolong itu gula yang masih di gudang nanti dibungkusin
satu kiloan ya.. Pak Udin tenang aja, nanti saya kasih upahnya ko.”
“
Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah,” dalam batinnnya, Pak Udin merasa sangat
senang, meskipun ia tahu kalau upahnya tidak seberapa, namun itu adalah uang
halal yang nantinya bisa untuk mengobati laparnya. Tanpa pikir-pikir lagi ia
langsung menyanggupinya dan segera bergegas untuk bekerja.
“
Terima kasih ya Pak Udin “ ucap Bu Idah dengan hiasan senyum di wajahnya.
“ Iya
Bu, harusnya saya yang berterima kasih sama Bu Idah” kemudian ia segera ke
gudang sembako milik Bu Idah dan segera melaksanakan tugasnya.
***
Mataharipun
tak diam di tempatnya, ia beranjak ke barat dengan memancarkan pesona yang
menghangatkan jiwa. Rasa panas siang itu masih terasa walaupun hanya sedikit.
Langit jingga di ufuk barat perlahan menghilang bersamaan dengan selesainya
tugas Pak Udin
mengemas gula di toko Bu Idah.
“Bu, tugas
saya sudah selesai. Semuanya ada 50 bungkus”
“Oh iya
Pak Udin, terima kasih banyak sudah membantu saya” jawab Bu Idah sambil
memberikan uang Rp 20.000,00 kepada Pak Udin.
“Alhamdulillah,
terima kasih Bu. Oh ya, ini saya beli mie instan 2 ya Bu” sambil menyodorkan
uang 20 ribuan tadi.
“Ga
usah Pak, ini dibawa aja. Ga usah bayar”
Ya,
memang Bu Idah adalah sosok orang yang baik kepada siapa saja, termasuk Pak Udin yang sudah membantunya.
“Sekali
lagi saya ucapkan terima kasih banyak Bu, semoga kebaikan ibu di balas
oleh-Nya. Kalau begitu saya pamit pulang dulu, kalau butuh tenaga saya, Insya
Allah saya siap Bu”.
“Amin
Yaa Rabb. Iya Pak. Jangan khawatir”
Kemudian Pak Udin melangkahkan kakinya keluar dari toko,
menyusuri pinggiran jalan yang masih menaburkan aroma keganasan hidup. Pada
saat itu jam dinding menunjukan pukul 17.10 WIB. Langkah kakinya yang sudah
lemas, tetap ia paksakan untuk berjalan menuju rumahnya. Ditengah perjalan, ia
mampir ke mushola kecil untuk menunaikan sholat. Ia juga tidak lupa menyisihkan
sedikit rejekinya yang kemudian dimasukkan ke dalam kotak amal mushola sebagai
rasa syukur kepada Tuhan. Setelah selesai sholat, ia melanjutkan kembali
melangkahkan kakinya agar segera sampai di gubuk reotnya di pinggiran desa.
***
Sayup-sayup kumandang adzan maghrib terdengar di telinga
pak Udin, menyambut kedatangannya di gubuk sederhana, berdinding anyaman
bambu dan berlantaikan tanah. Kini dinginnya malam harus ia rasakan sendiri,
tanpa istri yang dulu selalu menghangatkan jiwanya. Dua tahun lalu
istrinya meninggal karena terkena demam berdarah, ia tak sempat dirawat di
rumah sakit karena tidak ada biaya. Untuk makan saja kadang kurang, apalagi
untuk biaya rumah sakit, yang katanya gratis untuk rakyat miskin namun ternyata tidak. Memang
secara teori gratis, tapi ujung-ujungnya ada pungutan ini dan itu. Bukan tanpa
usaha untuk mengupayakan kesembuhan istrinya, sempat ia bawa ke pengobatan
alternatif, namun Tuhan berkehendak lain. Pak Udin hanya bisa pasrah menerima
segala takdirnya.
Memang dulu lingkungan sekitar rumah pak udin sangat
kumuh, kesadaran warganya masih sangat kecil terhadap kebersihan lingkungan.
Sampah berserakan dimana-mana, bahkan sampah-sampah hasil dari rumah tangga hanya
dibuang ke sungai, selokan atau empang yang ada di belakang rumah. Wajar saja
jika berbagai macam penyakit, termasuk nyamuk-nyamuk yang berbahaya betah
tinggal di lingkungan seperti itu.
Pak Udin tidak pernah menyalahkan siapapun atas kepergian
istrinya yang tidak mungkin akan kembali lagi. Ia hanya berharap mudah-mudahan
tidak ada warga lain yang senasib dengan almarhum istrinya. Sejak kepergian
istrinya itulah ia begitu benci kepada nyamuk-nyamuk yang selalu berkeliaran
dilingkungan rumahnya. Ia sadar bahwa tidak ada asap jika tidak ada api,
sedikit-demi sedikit ia membersihkan pekarangan sekitar gubuknya. Ia juga mengajak tetangganya untuk bersama membersihkan
lingkungan, agar
ancaman demam berdarah tidak melanda desanya. Selama dua tahun perjuangan
mengusir nyamuk-nyamuk itu tidaklah sia-sia, kini desa pak Udin bersih dan
terhindar dari ancaman demam berdarah. Walaupun itu tidak dapat mengembalikan
istrinya, namun ia senang atas apa yang ia lakukan.
***
Oh ya… setelah pak Udin sampai di rumah, ia bergegas mandi
dan kemudian sholat di rumahnya. Karena lapar yang sudah akut, setelah selesai
sholat dan berdo’a, ia memasak mie instan yang tadi sore diberi oleh bu Idah.
Malam telah menyelimuti bumi, tak peduli dengan nasib pak
Udin yang tinggal sebatang kara di gubuk reotnya. Sesekali pak Udin melihat keluar
dari celah anyaman bambu dindingnya. Mengamati kegelapan yang berhiaskan
nyanyian burung hantu. Malam itu terasa agak panas di dalam rumah, pak Udin pun
merasa kegerahan. Ia kemudian keluar menuju dipan yang terletak di emperan
gubuknya. ia sandarkan tubuhnya sambil memandang langit yang sedang mendung seolah ikut meratapi nasib pak Udin.
Kesepian, kesunyian dan kesendirian adalah teman-teman setia pak Udin di
malam-malamnya.
Rintik air dari
langit mulai turun, menjadikan hawa panas tadi sedikit demi seditik berubah
menjadi sejuk. Menambah kesunyian malam itu. Semakin lama dingin mulai
dirasakan oleh tubuh kurus yang tinggal tulang itu. Ia pun segera masuk karena
tubuhnya tidak sekuat dulu lagi waktu masih muda. Hanya sebuah bola lampu lima
watt yang menemani perjalanan malam pak Udin. Dinginnya sudah terasa sampai sum
sum tulangnya, ia segera menyelimuti tubuhnya dengan sarung yang tadi ia
gunakan untuk sholat. Meskipun kemiskinan selalu menjadi sahabat karibnya, ia tidak
pernah lupa siapa dirinya. Do’a- do’a selalu ia panjatkan tanpa mengenal putus
asa, meskipun sampai saat ini belum ada perubahan yang lebih baik padanya. Ia
yakin bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah untuknya, entah esok atau kelak
di kehidupan selanjutnya.
***
Gubuk reot berdinding anyaman bambu itu menjadi saksi
betapa perihnya kehidupan seorang Pak Udin. Keheningan malam itu hanya berhiaskan do’a yang
selalu ia panjatkan sebelum ia mengarungi mimpi yang melupakan segala kepedihan
yang tadi siang ia rasakan.
“ Yaa Allah, Yaa
Tuhanku, terima kasih atas segala apa yang Engkau berikan pada hamba-Mu yang
nista ini,
Yaa Allah, Yaa
Tuhanku, hamba yakin Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang, hamba mohon sayangilah
hamba-Mu ini yang kotor,
Yaa Allah Yaa
Tuhanku, jika keadaan seperti ini, akan lebih baik untukku, hamba ikhlas
menerimanya Yaa Allah….
Untaian do’a yang selalu ia panjatkan sebelum ia terlelap
dalam tidurnya, hingga ia terdampar di alam mimpi.
***
Dingin malam yang diiringi
gerimis kian menambah kesunyian dan suasana horor yang membuat bulu kuduk
merinding. Semua orang terlelap dalam tidur mereka masing-masing. Tak nampak
seorang pun yang masih berada di luar rumah, lampu-lampu rumah mereka sudah
padam. Hanyalah suara jangkrik di tengah gerimis yang setia menyanyikan alunan
nada kegelapan, menemani tidur setiap orang.
Malam pun
berlalu tanpa terasa, mentari pagi tersenyum menghangatkan gubuk reot yang
masih sedikit basah terkena percikan air hujan semalam. Namun Pak Udin sudah
terjaga sebelum sang mentari menebarkan cahayanya di hamparan muka bumi ini.
Cahaya
kehangatan berhiaskan sejuk embun pagi, solah memberikan secercah harapan baru
bagi Pak Udin. Ia berjalan menyusuri jalanan desa, berharap ada seseorang yang
membutuhkan tenaganya. Ya, apalagi yang diandalkan untuk mencari pekerjaan bagi
seseorang yang hanya tamat SD, selain tenaganya?. Benar saja, sesampainya di
depan toko Bu Idah, ia dipanggil dan diminta bantuannya untuk melayani
pelanggan bu Idah yang semakin hari semakin banyak. Bu Idah kini tidak hanya
memintanya untuk menjadi pekerja panggilan, sekarang Pak Udin diminta untuk
menjadi karyawan toko Bu Idah. Walaupun penghasilan dari tokonya belum begitu
besar, tapi ia tetap memperhatikan tetangganya yang masih tersiksa oleh hidup
karena kemiskinan.
Harapan
baru Pak Udin terwujud sudah, meskipun hanya cukup untuk hidupnya sehari-hari.
Ia merasa beruntung karena mempunyai tetangga seperti Bu Idah yang mau perduli
terhadap nasibnya, tidak seperti orang-orang kaya yang hanya peduli pada
perutnya sendiri tanpa ingin tau dan peduli apakah tetangganya ada yang masih
kelaparan atau membutuhkan sedikit derma darinya.
Syarif Alkhasan, 10 December 2011